Friday, September 12, 2014

Pembuktian 17 Rakaat Shalat (Melalui Pendekatan Numerik Al Quran) – 2



Masih membahas tentang tulisan sebelumnya (Pembuktian 17 rakaat shalat). Kali ini, mari kita coba hubungkan dengan sistematika 114 sura di Al Quran. Sebagai tahap awal, yang diperhatikan cukup 1 surat awal dan 1 surat akhir, dan 112 surat di antara surat 1 dan 114. Sistematika numeriknya dapat dijelaskan sebagai berikut :
  • Surat ke 1 dari awal dalam Al Quran adalah 1 Al Faatihah dengan jumlah 7 ayat.
  • Surat ke 1 dari akhir dalam Al Quran adalah 114 An Naas dengan jumlah 6 ayat.
  • Diantara surat ke 1 sampai dengan surat ke 114, terdapat 112 surat.
  • Nilai 112 disubsitusikan menjadi nomor surat, yaitu surat ke 112 atau Al Ikhlaash dengan jumlah 4 ayat.
  • Sehingga terbentuk sistematika sbb :
         Qs. 1 (Al Faatihah) 7 ayat – Qs. 112 (Al Ikhlaash) : 4 ayat – Qs. 114 (An Naas) 6 ayat.
  • Memperhatikan Qs. 112 (Al Ikhlaash) dengan makna redaksi verbalnya, yaitu menjelaskan tentang konsep untuk memurnikan keEsaan Allah swt (ketauhidan).
  • Berarti dari awal Al Quran (Qs. 1) sampai dengan akhirnya (Qs. 114), cukup jelas menggambarkan bahwa Al Quran dengan segala hikmah ilmu yang terkandung di dalamnya, akan menghantarkan manusia yang istiqamah berpegang teguh padanya, kepada satu muara, yaitu memurnikan keEsaan Allah (ketauhidan).
  • Nilai 112 juga merupakan jumlah ayat dari Qs. 21 (Al Anbiyaa’/Para Nabi). Hal ini semakin menegaskan bahwa ternyata benang merah dari ajaran dan risalah para rasul adalah tentang ketauhidan, sebagaimana yang ditegaskan pada 21 Al Anbiyaa’ ayat ke 25 : “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”.
  • Perhatikan korelasi dari nilai 21 dan 25, pada ayat di atas. Qs. 21 adalah Anbiyaa’ : Para Nabi, sedangkan nilai 25 nya adalah merupakan jumlah para nabi yang wajib diimani. Artinya pada ayat ini jelas menegaskan bahwa : pengutusan seluruh rasul kemuka bumi ini, tidak lain adalah untuk menyampaikan dan meyakinkan seluruh ummat manusia bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan oleh karena itu maka sembalah Dia.
  • Dengan landasan ketauhidan inilah, maka selanjutnya nilai 4 (jumlah ayat dari Qs. 112) akan dijadikan sebuah parameter sistematika selanjutnya.
  • Konsep tauhid, adalah hanya ditujukan kepada yang Maha Esa/Satu (Allah), sebagaimana redaksi verbal dari Qs. 112 yaitu : “Katakanlah (Muhammad), “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”.
  • Maka gerak sistematika numeriknya dibuat terbalik, yaitu dari surat ke. 114 (akhir) menuju ke surat ke 1 (awal). Atau menjadi : Qs. 114 – Qs. 112 – Qs. 1.
  • 114 berjumlah 6 ayat dan Qs. 1 berjumlah 7 ayat. Dengan parameter 4 ayat dari Qs. 112 yang menjadi rumus pemilahan jumlah ayat (Qs. 114 dan Qs. 1), maka selanjutnya : 6 ayat dari Qs. 114 menjadi : 4 + 2, dan jumlah 7 ayat dari Qs. 1 , menjadi : 4 + 3.
  • Sehingga terbentuklah sistematika urutan baru yaitu : 4 + 2, 4, dan 4 + 3.
  • Bukankah ke 5 variabel tersebut ternyata merupakan urutan jumlah rakaat dalam 5 waktu ?. Yakni :
         4 (Isya’) – 2 (Shubuh) – 4 (Dzuhur) – 4 (‘Ashar) dan 3 (Maghrib).

Pembuktian 17 Rakaat Shalat (Melalui Paradigma Numerik Al Qur’an) – 1



Sudah sama-sama diketahui bahwa shalat adalah ritual ibadah fardhu yang diamalkan bagi setiap muslim yang istiqamah dengan Iman dan Islamnya. Jumlah masing-masing rakaat pun dari 5 waktu yang di fardhu kan, telah dilaksanakan dengan penuh khusyu' dan keyakinan. Insya Allah, seluruh amal ibadah tersebut diterima dengan baik oleh Allah swt.

Dalam tulisan ini kami hanya ingin berbagi ilmu dengan mengulas bagaimana terlahirnya masing-masing jumlah rakaat dari 17 rakaat dalam 5 waktu tersebut. Wacana ini tentu sudah banyak disampaikan oleh para ahli agama, dengan kajian verbal Al Qur’an dan Hadist. Namun, mungkin masih sedikit yang mengulasnya dari sisi numerik Al Qur’an. Harus di akui dengan jujur, riwayat hadist shahih tentang bagaimana terlahirnya jumlah masing-masing rakaat tersebut (seandainya ada), ternyata masih sangat minim sosialisasi nya kepada ummat. Bahkan dengan keminiman tersebut, kamipun sampai saat ini, belum berhasil menemukan riwayat shahih yang menjelaskan hal ini secara terperinci. Kecuali, keterangan-keterangan shahih yang menjelaskan tentang waktu-waktu pelaksanaannya saja. Tanpa bermaksud mengabaikan atau mengenyampingkan riwayat shahih yang minim sosialisasinya, dan bukan pula atas dasar keraguan pada keberadaan ritual shalat yang sudah dijalani ummat selama ini, serta sambil berharap dan berusaha mendapatkan referensi shahih tersebut, kami dari pengkaji Al Qur’an melalui pendekatan numerik Al Qur’an, berusaha mencari referensi shahih dan aktualnya dari sang sumber ilmu itu sendiri, Al Qur’an. Sebuah ikhtiar, yang dilandasi oleh keyakinan bahwa memang benarlah adanya Al Quran adalah kitab petunjuk (huda li naas), sumber dari segala sumber ilmu.
Selanjutnya, bila memperhatikan dari sisi redaksi verbal Al Qur’an, ternyata untuk hal ini pun tidak ada penjelasan sama sekali. Tidak ada satupun redaksi verbal (terjemahan) Al Quran yang menjelaskan hal bilangan rakaat dari masing-masing waktu shalat. Nah, berangkat dari di sinilah keingintahuan kami bermula. Karena harus diyakini bersama, bahwa Al Qur’an adalah sumber dari segala ilmu, pastinya untuk hal yang sangat penting seperti jumlah rakaat shalat, tentu ada keterangannya di sana. Kalau tidak ada disisi redaksi verbalnya, mungkin dari sisi numeriknya.
 
Baca selanjutnya

Mukjizat Syahadat (Melalui Pendekatan Numerik Al Quran) - 2

Melanjutkan bahasan sebelumnya, telah disampaikan bahwa yang dimaksudkan dengan mukjizat syahadat adalah mukjizat Al Qur’an. Dimana dibalik pesan untuk bersyahadat tersebut, ternyata tersembunyi pesan untuk mempelajari dan memahami Al Qur’an dalam rangka lebih meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan ke 4 rukun Islam setelahnya (Shalat, Zakat, Puasa dan Hajj).

Ada sebuah ayat di Al Qur’an yang sudah demikian familiar dikalangan ummat Islam, yang jelas mendukung pemahaman tentang korelasi antara Syahadat dan Al Qur’an, yaitu Qs. 29 Al ‘Ankabuut 45 yang merupakan ayat pertama dari juz 21 :
Bacalah Kitab (al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dari ayat tersebut jelas mengisyaratkan tentang kedudukan syahadat (membaca, mempelajari dan memahami Al Qur’an) lebih didahulukan dari rukun Islam yang ke dua (shalat). Dari kalimat Bacalah Kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepada (Muhammad) dan laksanakanlah shalat, jelas disini mengisyarakat betapa pentingnya kita mempelajari dan memahami Al Qur’an, sehingga dengan semakin baiknya tingkat kepahaman kita akan ilmu Al Qur’an, maka seiring itu pula ilmu tersebut akan menghantarkan kita kepada tingkat penegakan shalat yang mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, Insya Allah.

Lebih lanjut, kajian numerik Al Qur’an tentang Syahadat akan akan membahas beberapa uraian sebagai berikut :

Masjidil Haram sebagai Simbolik dari Al Qur’an
Telah dipaparkan sebelumnya tentang Ka’bah adalah merupakan sebuah simbol dari Al Qur’an. Bagaimana dengan Masjidil Haram ?, karena pada ayat di Qs. 2, Al Baqarah 150, jelas tertera lafadz Masjidil Haram.
Dihubungkan dengan kalimat syahadat, yang pengucapannya berulangkali kita lakukan pada saat shalat yaitu ketika dalam posisi tahyat, dengan serta merta diiringi pula dengan menegakan/mengangkat jari telunjuk kita, yang tentunya arah tunjuk jari tersebut akan searah dengan arah kiblat shalat. Cobalah perhatikan bentuk kepalan tangan kita, pada saat pengucapan syahadat tersebut. Ternyata bentuk tersebut menyerupai bentuk Masjidil Haram bila dilihat dari arah atas. Seperti gambar di bawah ini.

Belajar Numerik Al Quran

Gambar tersebut, adalah visualisasi Masjidil Haram sebelum terjadinya renovasi besar-besaran belakangan ini. Namun pada kondisi akhir pun, bentuk dasar seperti di atas masih dipertahankan. Perhatikanlah bentuk tersebut, bukankah bentuknya menyerupai bentuk kepalan tangan ketika dalam posisi syahadat pada waktu tahyat? Apakah hanya kebetulan, ataukah ada pesan tersembunyi di sana?. Berikut adalah analisa numeriknya :
  • Sekilas bentuk visualisasi tersebut jelas membentuk salah satu abjad dalam hijiyah, yakni ajad MIM ( ﻣ ) atau abjad ke 24, atau lebih jelasnya adalah :
  • Artinya, ketika kita bersyahadat (dalam shalat) pada saat posisi tahyat ternyata memilki konektifitas dengan Masjidil Haram. Karena baik Masjidil Haram dan bentuk kepalan tangan dengan posisi jari telunjuk di tegakkan (posisi syahadat) sama-sama berkorelasi dengan huruf MIM (huruf ke 24). Bagaimana sistematika numeriknya, sehingga mengisyaratkan bahwa Masjidil Haram pun merupakan sebuah simbolik dari Al Qur'an.
Berikut penjelasannya :
  • Bila angka 24 disubstitusikan menjadi nomor surat adalah Qs. 24 An Nuur dengan 64 jumlah ayat. Nilai nomor surat ditambahkan dengan jumlah ayatnya : 24 + 64 = 88.
  • Nilai 88 adalah sama dengan nilai numerik pada kata Al Qur’an (ﺍﻟﻗرﺍﻦ). Atau lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :
Tulisan Al Quran :

  • Sepertinya mulai terlihat, konektifitas antara Masjidil Haram dan Al Qur’an. Dan perlu di ingat pula bahwa salah satu nama lain dari Al Qur’an pun adalah An Nuur.
  • Nilai 88 yang diperoleh, kembali disubstitusikan menjadi nomor surat ke 88 yaitu, Al Ghasiyah dengan 26 ayat. Nilai 88 + 26 = 114. Nilai 114 adalah sama dengan jumlah surat di Al Qur’an.
Ternyata dibalik bentuk Masjidil Haram tersebut mengandung pesan tentang Al Qur’an (simbolik dari Al Qur’an). Hal ini semakin menegaskan tentang makna dari Qs. 2 Al Baqarah ayat 150 (yang sudah disampaikan pada tulisan “Mukjizat Al Qur’an” seri pertama), bahwa
“Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku Sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk.”.

bermakna : dari mana saja kita keluar dan di mana saja kita berada, selalulah berpedoman pada Al Qur’an.
  • Bentuk Masjidil Haram memiliki keterkaitan dengan huruf Mim (huruf ke 24), dan surat ke 24 adalah An Nuur (Cahaya). Hal ini cukup membuktikan mengapa penampakan Masjidil Haram dari sebuah satelit di luar angkasa, terlihat bercahaya walaupun pada saat itu kondisi alam di Masjidil Haram adalah malam hari. Subhanallah….
  • Dengan sebuah uraian pada skema di bawah ini, kembali ditegaskan tentang makna simbolik dari Masjidil Haram dan Ka’bah adalah merupakan simbolik dari Al Qur’an :

Setelah mengurai nilai numerik dari nomor surat dan jumlah ayat Surat An Nuur (24+64=88), yang hasilnya sama dengan nilai numerik kata Al Qur’an, kali ini adalah penguraian nilai numerik dari 4 huruf hijaiyah pada nama surat ke 24 (An Nuur) yang menghasilkan nilai 92.
  • Surat ke 92 adalah Al Lail (Malam) dengan jumlah ayat 21. Bukankah telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai 21 adalah sama dengan nilai deret hitung dari 6 atau (1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 = 21) ? dan nilai 6 adalah sama dengan jumlah sisi bangunan Ka’bah. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa Masjidil Haram tetap terlihat bercahaya (Qs. 24, An Nuur) pada malam hari (Qs. 92, Al Lail), walau dilihat dari satelit sekalipun.
  • Bermula dari uraian tentang Qs. 24 (An Nuur) yang juga merupakan nama lain dari Al Qur’an, ternyata di dalamnya terkandung pula kesetaraan nilai tentang Ka’bah. Kembali dibuktikan disini tentang konektifitas antara Syahadat - Masjidil Haram – Ka’bah dan Al Qur’an.
Masjidil Haram – Al Qur’an dan Muhammad saw

Dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah ra ketika ia ditanya seseorang : “Bagaimanakah akhlak Rasulullah ?”, lantas ia menjawab “Ini, sambil menunjukkan Al Qur’an”. Memang demikianlah adanya, sehingga secara menyeluruh bagi ummat Islam, sangat dikenal bahwa Muhammad saw adalah Al Qur’an yang berjalan.
Bagaimanakah keterkaitan sistematika numerik Al Qur’annya? Berikut jawabannya :
  • Telah dijelaskan di atas bagaimana visualisasi Masjidil Haram dan bentuk kepalan tangan ketika dalam posisi bersyahadat (pada saat tahyat) terkoneksi dengan huruf MIM (24).
  • Bila ke 2 MIM ini disandingkan dan digunakan perhitungan matematik yang sedikit berbeda akan terlihat sbb :
  • Hasil pertama : dari huruf MIM (24) dengan sistem penjumlahan (2 + 4) bernilai = 6.
  • Dalam nomor urut ke 6 huruf hijaiyah adalah HA :
  • Hasil ke dua : dari huruf Mim (24) dengan sistem perkalian (2 x 4) bernilai = 8.
  • Dalam nomor urut ke 8 huruf hijaiyah adalah DAL :
  • Bila digabungkan ke 4 huruf di atas maka akan terbentuk kata : ﻤﺤﻤﺪ (Muhammad)
  • Tentu bukan sebuah kebetulan bukan, mengapa syahadat rasul yang dimaksud adalah kesaksian kita terhadap kepada Muhammad saw?. Terlihat sangat jelas keterkaitan antara Masjidil Haram – Muhammad – Al Qur’an. Dalam qs. 90 Al Balad ayat 1 dan 2 cukup menegaskan hal ini : Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah) dan engkau (Muhammad), bertempat di negeri (Mekah) ini.
Khusus dalam kaitan antara huruf MIM (24) dan Qs. 47 (Muhammad), mari kita cermati terjemah dari Surat ke 47 ayat 24 :

“Maka tidakkah mereka memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka sudah terkunci?”

dan Surat ke 24 ayat 47

Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.

Semoga kita tidak termasuk dari golongan-golongan orang di maksud di atas, dimana bilamana hati sudah terkunci, maka Al Qur’an bukan merupakan suatu hal yang penting lagi, tak perlu dikaji lagi, tak perlu diperhatikan lagi, bahkan tak perlu di baca lagi. Dan semoga kita tidak pula termasuk pada golongan orang yang munafik, yang mengaku beriman pada Allah dan Rasul hanya sebatas lisan saja, namun sikap dan perilaku seorang muslim yang seharusnya berpedoman pada Al Qur’an, tidak tercermin dalam hidupnya…

Syahadat dan Shalawat pada Shalat

Setelah kita bersyahadat dalam shalat (posisi tahyat), dilanjutkan dengan membacakan doa shalawat nabi. Shalawat tersebut, ditujukan kepada 2 sosok nabi yang ada di antara 25 nabi yang wajib di imani, yaitu Muhammad saw dan Ibrahim as. Pertanyaannya, mengapa ke 2 nabi tersebut yang dicantumkan? Mengapa bukan nabi Adam as (nabi pertama) dan nabi Muhammad saw (nabi terakhir) misalnya. Atau nabi pertama yang mendapatkan kitab (Musa as / Taurat) dan nabi Muhammad saw (Al Qur’an), atau kombinasi-kombinasi lainnya. Ada pesan apakah di balik ini semua ? Mari coba kita mengerti melalui pendekatan numerik Al Qur’an :
  • Di Al Qur’an posisi surat Muhammad adalah surat ke 47 dengan 38 jumlah ayatnya.
  • Bila dilanjutkan substitusi nilai 38 menjadi nomor surat yaitu surat Shaad. Surat ini adalah salah satu surat di Al Qur’an yang nama suratnya diambil dari huruf hijaiyah, yaitu huruf ke 14 (Shaad / ﺹ).
  • Selanjutnya kembali dilihat di Al Qur’an, surat ke 14 adalah surat Ibrahim, yang berjumlah 52 ayat.
  • Dari uraian di atas cukup menjelaskan mengapa shalawat pada shalat mengabadikan ke 2 sosok nabi ini. Sebuah pesan menapaktilasi ajaran ke dua sosok kekasih Allah, yang ke dua nya sama-sama memiki hubungan yang khas dan khusus dengan Ka’bah dan Masjidil Haram.
  • Nilai awal dari paparan di atas yaitu bermula dari surat 47, bila ditambahkan dengan uraian akhirnya yaitu jumlah ayat dari surat Ibrahim (52 ayat), menjadi : 47 + 52 = 99.
  • Nilai 99 merupakan jumlah ayat dari Qs. 15 (Al Hijr). Kedua nilai ini kembali dijumlahkan sehingga menjadi 15 + 99 = 114 (jumlah ayat Al Quran). Untuk kesekian kalinya, pembuktian keterkaitan ini terulang kembali, mungkin tak perlu di jelaskan lagi, atau untuk lebih jelasnya paparan tentang sistematika numerik antara Ibrahim - Ka’bah - Al Hijr - rukun Iman – rukun Islam – Syahadat – Al Qur’an. Ada baiknya membuka kembali tulisan kami yang pertama (Mukjizat Syahadat).
Demikianlah, paparan singkat tentang lanjutan tulisan kami sebelumnya (berjudul Mukjizat Syahadat). Kembali dalam tulisan ini disampaikan betapa posisi rukun Islam pertama yaitu Syahadat (mempelajari dan memahami Al Quran), memiliki peran yang teramat sangat penting dalam ke Islaman, sebuah pondasi kokoh yang mampu memperkuat rukun-rukun Islam setelahnya (Shalat – Zakat - Puasa dan Hajj).
Akhirul kalam, sebagai hamba Allah yang tidak luput dari khilaf, kritik membangun dan saran serta masukan dari pembaca, akan menjadi motivasi bagi kami untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas khilaf dan pemahaman kami. Terima kasih, wassalam…
By
http://www.belajarnumerikalquran.blogspot.com
http://www.darulqohar.wordpress.com